KAPITALISME DI INDONESIA
Untuk memahami apakah sebuah negara itu bercorak kapitalisme ataukah sebaliknya yaitu sosialisme, maka indikator yang paling mudah untuk digunakan adalah dengan melihat seberapa besar pihak-pihak yang menguasai sektor ekonominya. Jika sektor-sektor ekonomi lebih banyak dikuasai oleh swasta, maka negara tersebut cenderung bercorak kapitalisme dan sebaliknya, jika ekonomi lebih banyak dikendalikan oleh negara, maka lebih bercorak sosialisme (Samuelson & Nordhaus, 1999).
Dengan menggunakan tolok ukur di atas, kita dapat menelusuri sejauh mana cengkeraman kapitalisme telah menjalar ke Indonesia. Sesungguhnya jejak kapitalisme di Indonesia dapat ditelusuri ketika Indonesia mulai memasuki era pemerintahan Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru dimulai sejak Bulan Maret 1966. Orientasi pemerintahan Orba sangat bertolak belakang dengan era sebelumnya. Kebijakan Orba lebih berpihak kepada Barat dan menjahui ideologi komunis.
Dengan membaiknya politik Indonesia dengan negara-negara Barat, maka arus modal asing mulai masuk ke Indonesia, khususnya PMA dan hutang luar negeri mulai meningkat. Menjelang awal tahun 1970-an atas kerja sama dengan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Pembangunan Asia (ADB) dibentuk suatu konsorsium Inter-Government Group on Indonesia (IGGI) yang terdiri atas sejumlah negara industri maju termasuk Jepang untuk membiayai pembangunan di Indonesia. Saat itulah Indonesia dianggap telah menggeser sistem ekonominya dari sosialisme lebih ke arah semikapitalisme (Tambunan, 1998).
Memasuki periode akhir 1980-an dan awal 1990-an sistem ekonomi di Indonesia terus mengalami pergeseran. Menilik kebijakan yang banyak ditempuh pemerintah, kita dapat menilai bahwa ada sebuah mainstream sistem ekonomi telah dipilih atau telah ‘dipaksakan’ kepada negara kita. Isu-isu ekonomi politik banyak dibawa ke arah libelarisasi ekonomi, baik libelarisasi sektor keuangan, sektor industri maupun sektor perdagangan. Sektor swasta diharapkan berperan lebih besar karena pemerintah dianggap telah gagal dalam mengalokasikan sumberdaya ekonomi untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi, baik yang berasal dari eksploitasi sumberdaya alam maupun hutang luar negeri (Rachbini , 2001).
Pakto ’88 dapat dianggap sebagai titik tonggak kebijakan libelarisasi ekonomi di Indonesia. Menjamurnya industri perbankan di Indonesia, yang selanjutnya diikuti dengan terjadinya transaksi hutang luar negeri perusahaan-perusahaan swasta yang sangat pesat, mewarnai percaturan ekonomi Indonesia saat itu (Rachbini , 2001).
Masa pembangunan ekonomi Orde Baru-pun akhirnya berakhir. Puncak dari kegagalan dari pembangunan ekonomi Orba ditandai dengan meledaknya krisis moneter, yang diikuti dengan ambruknya seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia.
Pasca krisis moneter, memasuki era reformasi, ternyata kebijakan perekonomian Indonesia tidak bergeser sedikitpun dari pola sebelumnya. Bahkan semakin liberal. Dengan mengikuti garis-garis yang telah ditentukan oleh IMF, Indonesia benar-benar telah menuju libelarisasi ekonomi. Hal itu paling tidak dapat diukur dari beberapa indikator utama, yaitu (Triono, 2001):
1. Dihapuskannya berbagai subsidi dari pemerintah secara bertahap. Berarti, harga dari barang-barang strategis yang selama ini penentuannya ditetapkan oleh pemerintah, selanjutnya secara berangsur diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar.
2. Nilai kurs rupiah diambangkan secara bebas (floating rate). Sesuai dengan kesepakatan dalam LoI dengan pihak IMF, penentuan nilai kurs rupiah tidak boleh dipatok dengan kurs tetap (fix rate). Dengan kata lain, besarnya nilai kurs rupiah harus dikembalikan pada mekanisme pasar.
3. Privatisasi BUMN. Salah satu ciri ekonomi yang liberal adalah semakin kecilnya peran pemerintah dalam bidang ekonomi, termasuk didalamnya adalah kepemilikan asset-asset produksi. Dengan “dijualnya” BUMN kepada pihak swasta, baik swasta nasional maupun asing, berarti perekonomian Indonesia semakin liberal.
4. Peran serta pemerintah Indonesia dalam kancah WTO dan perjanjian GATT. Dengan masuknya Indonesia dalam tata perdagangan dunia tersebut, semakin memperjelas komitmen Indonesia untuk masuk “kubangan” libelarisasi ekonomi dunia atau kapitalisme global.
IV. MENUJU PERUBAHAN SISTEM EKONOMI
Setiap kita membicarakan perubahan, maka kita akan dihadapkan pada dua kemungkinan perubahan, yaitu: perubahan secara fungsional atau perubahan secara struktural. Menilik problem ekonomi yang sedang dihadapi Indonesia, maka perubahan yang paling urgen yang harus segera dilakukan adalah perubahan yang bersifat struktural, walaupun perubahan yang bersifat fungsional juga tidak boleh dilupakan.
Perubahan ekonomi secara struktural berarti mengganti sistem ekonominya, dari sistem ekonomi yang bercorak kapitalistik menjadi sistem ekonomi yang baru. Namun, perubahan sistem tersebut bukan berarti merubah sistem ekonominya menjadi sosialis, sebab sistem ekonomi ini juga sudah terbukti gagal. Masih satu harapan lagi yaitu perubahan menuju sistem ekonomi Islam.
Sebagaimana karakter perubahan yang bersifat sistemik, maka sistem ekonomi Islam juga akan membongkar sebuah sistem ekonomi mulai dari akarnya. Perubahan yang bersifat mendasar dari ekonomi Islam berangkat dari sebuah pandangan terhadap kepemilikan dari harta kekayaan yang ada di muka bumi ini. Islam memandang bahwa harta kekayaan yang ada di muka bumi ini tidak untuk dibagikan secara bebas (sebagaimana sistem ekonomi kapitalisme) untuk manusia, namun Allah swt telah memberi ketentuan yang adil dalam pembagiannya, yaitu (An-Nabhani, 1990): kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan Negara. Masing-masing kepemilikan terhadap harta kekayaan tersebut sudah ada aturan-aturannya yang terinci, dengan mengikuti tiga runtutan perlakuan yang adil, yaitu (An-Nabhani, 1990):
1. Pengaturan dalam masalah kepemilikan (al-milkiyah).
2. Pengaturan dalam masalah pemanfaatan dan pengembangan kepemilikan (al-tasharruf fi al-milkiyah).
3. Pengaturan dalam masalah distribusi harta kekayaan di tengah-tengah manusia (tauzi’u tsarwah bayna al-nas).
Selanjutnya, sistem ekonomi Islam dalam suatu negara akan dibangun dan dikembangkan dengan bertumpu kepada tiga pilar ekonomi Islam tersebut. Insya Allah, jika pengaturannya konsisten, wajah ekonomi suatu negara akan nampak sangat jelas perbedaannya dengan wajah ekonomi yang bercorak kapitalistik.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar